Senin, 21 Januari 2013

Strategi Pengelolan Konflik SARA di NTB Melalui Peran Aktif Pemerintah Daerah dan Pemutusan Tradisi Pewarisan Konflik dalam Lingkungan Internal Keluarga.

  1. A.    Rumusan Permasalahan

Diakhir tahun 2009 DPR merilis beberapa daerah rawan konflik di Indonesia dan NTB merupakan salah satu dari 14 daerah rawan konflik di Indonesia.[1] Hal ini disebabkan kerap terjadinya konflik horizontal antar warga dengan latar belakang masalah yang berbeda-beda antara lain masalah lahan, dan agama. Salah satu contoh konflik yang meletup diakhir tahun 2011 adalah kasus kerususan yang menewaskan 2 orang di Bima, Penyidik Polri telah menahan 38 warga dari 47 tersangka. Sedangkan sisanya ditangguhkan penahanannya. Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Saud Usman Nasution mengungkapkan, sembilan tersangka terkait kasus pengrusakan dan pembakaran gedung pemerintah dan rumah warga pasca pembubaran aksi unjukrasa di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) telah ditangguhkan penahanannya.[2] Pada dasarnya penyebab konflik di NTB bersifat komunal dan dipicu oleh hal sepele, yakni perkelahian anak-anak yang menimbulkan solidaritas mekanisme masyarakat. Di mana, masyarakat bukannya langsung melaporkan kepada petugas jika terjadi konflik. melainkan kepada pihak keluarga. Akibatnya, solidaritas yang sempit itu akan memudahkan pecahnya konflik dimasyarakat.[3] Seperti contoh konflik yang terjadi di Mesanggok pada tahun 2009 sebenarnya bukan konflik yang disebabkan oleh perbedaan pemahaman. Namun diawali dengan masalah pribadi yang kemudian berbuntut pada kecemburuan sosial antara warga Mesanggok dengan warga salafy.[4]
Tidak hanya itu, kondisi masyarakat NTB saat ini Anomali. Artinya, masyarakat telah kehilangan norma-norma yang disebabkan oleh banyak hal. Diantaranya, arus globalisasi, media massa, main hakim sendiri, serta tidak adanya kelompok yang berusaha mencegah jika terjadi pertikaian. Dan konflik ini menjadi tidak berkesudahan, lebih dikarenakan terdapat beragam faktor yang menjadi pemicu terjadinya Konflik Komunal diwilayah NTB. Di antaranya, adanya sinyalemen keberpihakan oknum aparat keamanan dari pihak TNI dan Polri terhadap salah satu kelompok yang bertikai.
Konflik NTB sudah merupakan masalah nasional karena Presiden RI pada tahun 2009 langsung meminta Dewan Pertimbangan Pertahanan dan Keamanan untuk turun tangan menyelesaikan konflik tersebut.[5] Konflik horizontal ini harus segera dicarikan jalan keluarnya mengingat jika hal ini terus terjadi maka akan mengganggu jalannya roda perekonomian NTB, di mana kita ketahui bersama bahwa NTB adalah provinsi dengan potensi pariwisatanya yang besar dan potensial. Berbagai pakar menilai bahwa banyak masyarakat NTB yang tidak memahami prosedur hukum dengan baik, dan ini berimbas pada kearifan lokal masyarakat yang kini kian luntur dan cenderung menyelesaikan masalah dengan kekerasan.
Jika kita melihat konflik di NTB dari sudut pandang para ahli setidaknya kita harus terlebih dahulu memahami sebuah  konflik sosial sebagai suatu bentuk perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional.[i] Konflik NTB secara jelas telah menimbulkan kondisi ketidakamanan di antara warga, terlebih lagi bagi para wisatawan yang hendak berkunjung. Langkah pemerintah untuk turun langsung membantu memecahkan konflik ini sebagai wujud untuk manjaga NKRI dari disintegrasi sosial yang potensial terjadi di NTB jika hal ini terus dibiarkan.
Menurut Robbins (1996), keberadaan konflik ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam suatu situasi sosial maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam lingkungan sosial telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.[ii] Berdasarkan pendapat robbins tersebut, konflik yang terjadi di NTB kerap berlangsung secara terus-menerus karena disebabkan peran media yang pada akhirnya membentuk persepsi masyarakat bahwa lingkungan mereka adalah lingkungan konflik. Fenomena ini secara tidak langsung menjadi penyebab utama melebarnya daerah konflik di NTB.  Di samping itu, beberapa hal penyebab konflik menurut para ahli di antaranya adalah sebagai berikut:[iii]
  1. Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
  2. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
  3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
  4. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Konflik NTB pada dasarnya bermula dari konflik individu yang berbeda pemahaman terhadap suatu hal. Konflik individu ini menjadi melebar karena terus melibatkan orang-orang terdekat untuk turut serta ambil bagian dalam konflik tersebut. Sistem kekeluargaan yang begitu erat menjadikan provokasi antar anggota keluarga/saudara/atau rekan menjadi penyulut utama timbulnya konflik yang lebih besar antar komunitas. Lebih jauh dari itu, minimnya pemahaman masyarakat akan kesadaran terhadap hukum membuat berubahnya sistem tata nilai dan norma menjadi kabur dan cenderung tidak diindahkan lagi oleh sebagian besar masyarakat. Ego kelompok dan golongan menjadi dominan dalam mempertahankan argumentasi dan kebenaran masing-masing kelompok atau golongan.


  1. B.     Justifikasi Pemilihan Masalah

Salah satu penyebab terjadinya konflik di NTB, yakni kurangnya pemahaman warga soal keberagaman. Selain itu, Pemerintah harus cepat tanggap untuk meredam potensi konflik yang terjadi di masyarakat, bukan malah menjadi penyebab utama menyulutnya konflik di NTB. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang langsung berhubungan dengan masyarakat, jika tidak dilakukan sosialisasi secara tepat dan mendalam, sangat rawan menjadi pemicu timbulnya gejolak di masyarakat. Pemerintah daerah harus terus didorong untuk berperan aktif dalam upaya mereduksi potensi-potensi konflik. Lebih jauh dari itu, pemerintah daerah juga harus mau turun langsung ke masyarakat untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat, karena pemerintah daerahlah yang pertama dan utama memiliki kewenangan terhadap masyarakat di daerahnya.
Penanganan konflik oleh Pemerintah Daerah tidak boleh bersifat menyelesaikan masalah pasca terjadi konflik. Dan lebih jauh daripada itu, pemerintah daerah tidak boleh bertindak seperti pemadam kebakaran yang hanya memadamkan api namun tidak menyelesaikan dari akar masalahnya. Oleh karena itu, dialog antara warga dan pemerintah daerah mutlak diperlukan sevagai salah satu upaya preventif dalam menanggulangi konflik horizontal yang kerap dilakukan masyarakat. Memang sejatinya tidak mudah bagi pemerintah daerah untuk langsung masuk ke dalam masyarakat, karena faktanya beberapa masyarakat tengah apatis terhadap kinerja dan kebijakan pemerintah daerah. Oleh karena itu, pendekatan yang sangat hati-hati yang tidak menyinggung isu-isu yang sensitif di kalangan warga perlu dipahami dengan baik sebelum terjun dan meyentuh langsung masyarakat.
Penyebab konflik di tiap daerah memang sejatinya berbeda-beda. Gejolak yang terjadi itu akibat tidak ada sarana penyaluran oleh masyarakat sehingga cepat terpengaruh jika terjadi gesekan-gesekan. Pemerintah daerah sudah seharusnya mampu menjadi wadah penyalur aspirasi masyarakat untuk memfasilitasi kepentingan masyarakat. Agar masyarakat tau harus kemana mereka mengadu dan berkonsultasi jika terjadi gesekan-gesekan di antara mereka.
            Di sisi lain, kemajuan teknologi informasi terutama media massa, membuat gejala sosial (konflik) semakin mudah terekspose. Masyarakat NTB tidak bisa menutup diri terkait dengan meletupnya konflik-konflik atas nama perbedaan pemahaman dalam keyakinan keberagaman, etnis, dan antar desa. Sekali terekspose di media maka masyarakat akan terus merekam peristiwa tersebut, melebar, dan akan terus memberikan stigma negatif terhadap daerahnya. Salah satu cara untuk meredam tersebarnya konflik adalah peran institusi terkecil dalam sosietas yaitu “keluarga”. Selama ini keluarga digadang-gadang sebagai pewaris stigma konflik dalam keluarga. Keeratan emosional antar keluarga menimbulkan sikap pembelaan yang berlebihan di antara anggota keluarga yang lain. Oleh karena itu, mutlak perlu adanya suatu edukasi yang bisa dilaksanakan secara informal kepada para orang tua untuk tidak mewariskan budaya stigma konflik pada anak-anaknya kelak. Di samping itu, peran pemuka adat juga mutlak diperlukan untuk menanamkan kembali nilai-nilai kearifan lokal yang santun, toleran, dan saling membantu antar sesama masyarakat.
Berdasarkan pemaparan di atas, penanganan konflik adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi Konflik yang mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pascakonflik.[iv] Konflik NTB dengan segala latar belakang yang melucutinya harus terus diupayakan untuk direduksi dengan penanganan-penanganan konflik dengan melibatkan semua stakeholder. Jika konflik ini dibiarkan terus menerus berlanjut maka akan menimbulkan disintegrasi bagi bangsa Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, strategi pengelolaan konflik di NTB dapat dirumuskan sebagai berikut:

  1. Perlu adanya langkah konkrit dari pemerintah daerah untuk mau menyentuh langsug masyarakat, berkomunikasi, dan mencarikan solusi dari permasalahan yang dihadapi masyarakat.
  2. Perlu adanya edukasi kepada masyarakat untuk tidak mewariskan dan memelihara stigma konflik dalam lingkungan keluarga. Dalam lingkungan keluarga, hal ini harus intens dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Dalam lingkungan yang sedikit lebih luas, peran tetua adat dan pemuka agama menjadi sentral untuk memberikan pencerdasan kepada para kepala keluarga.
  3. Perlu terus didorong regulasi secara berkelanjutan terhadap pihak-pihak terkait.



  1. C.    Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan faktual problem, kontekstual problem, dan justifikasi pemilihan masalah di atas. Maka, penelitian ini akan difokuskan untuk menjawab pertanyaan penelitian berupa:
  1. Apakah peran aktif pemerintah daerah dan lingkungan internal keluarga mampu mampu untuk memutus tradisi pewarisan stigma konflik dalam masyarakat?

  1. D.    Bidang Ilmu S1 yg Ditempuh

Bidang Ilmu yang ditempuh ketika S1 adalah Filsafat. Pada masa kuliah S1 tidak begitu diajarkan mata kuliah yang secara spesifik membahas tentang konflik sosial dan negosiasi. Namun, ada beberapa mata kuliah yang sekiranya dapat membantu pemahaman penulis terkait dengan kondisi sosial budaya yaitu “Etnografi”.

  1. E.     Penelitian-Penelitian Pendahuluan atau Sejenis

  1. 1.      Yusuf Tantowi, pada tahun 2012,  “Tingkat Kerawanan Konflik Agama NTB Peringkat 4”, Koordinator Divisi Kajian dan Penelitian Lensa NTB. Dalam penelitiannya Yusuf menjelaskan bahwa tingkat kerawanan konflik berlatar agama NTB menempati peringkat ke-4 pada tahun 2011. Ini berdasarkan jumlah konflik agama yang terjadi, sebanyak 14 kasus. “Tindakan pelanggaran terdapat enam kasus, intoleransi dan diskriminasi ada delapan kasus hasil 2011. Pelakunya lebih didominasi  masyarakat, ormas, aparat. [v] Penelitian ini bisa dijadikan suatu referensi terbaru mengenai melebarnya jenis-jenis konflik yang terjadi di NTB.
  2. 2.      Penelitian tentang: Anatomi Konflik Sosial di Jawa Tengah: Studi Kasus Konflik Penistaan Agama di Temanggung. Oleh Dra. Fitriyah, MA dan Dzunuwanus Ghulam Manar , S.IP, M.Si. Kesamaan salah satu penyebab konflik yang terjadi NTB dan Jawa Tengah adalah adanya provokasi dari pihak-pihak tertentu dengan logat dan gesture yang berbeda dengan masyarakat.[vi] Namun, dalam kasus konflik NTB provokasi ini lebih banyak dilakukan oleh orang-orang terdekat penyebab konflik.
  3. Penelitian tentang, “Pembingkaian Berita Kerusuhan Warga Dengan Jamaah Ahmadiyah di Pandeglang Banten” oleh Indra Wardhana. Penelitian ini sedikit banyak memberikan gambaran bagaimana peran media mampu menciptakan suasana konflik secara berkesinambungan di suatu wilayah karena editorialnya yang kadang tidak objektif dalam menyuguhkan suatu fakta dari peristiwa. Dan hal ini juga yang terjadi pada media-media lokal di NTB yang terus membentuk bingkai konflik di NTB sebagai suatu hal yang laten dan sulit untuk dipecahkan.[vii]
  4. Penelitian tentang: “Penanggulangan Konflik Maluku” oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan RI. Hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah bahwa Konflik yang terjadi di Maluku ataupun dibeberapa wilayah di Indonesia adalah disebabkan karena faktor kepentingan dan merupakan permasalahan seluruh bangsa Indonesia yang harus ditolak, dicegah dan ditanggulangi untuk menghindarkan disintegrasi bangsa dalam upaya membangun negara dan bangsa guna mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional dalam rangka menjaga keutuhan NKRI.[viii]
  5. Nasionalisme & Konflik Etnis di Indonesia, buku karangan Jacques Betrand. Memiliki pandangan dalam menyikapi konflik etnis di beberapa daerah di Indonesia Menurut Bertrand, konflik agama dan etnis terjadi karena sistem perubahan negara. Betrand mengungkapkan bahwa konflik terjadi ketika konsep nasionalisme diimplementasikan secara sempit hingga ada beberapa etnis yang merasa tidak terlingkupi dalam prinsip model kebangsaan Indonesia yang dilembagakan.[ix] Dalam konteks konflik NTB, banyak kepentingan masyarakat yang tidak terfasilitasi dengan baik oleh pemerintah daerah, dan lebih jauh bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah daerah dirasa tidak banyak menyentuh lapisan masyarakat, dan inilah yang kerap menimbulkan gesekan-gesekan dalam masyarakat.